“Kalau guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” begitulah bunyi pepatah yang sering digunakan sebagai excuse apabila murid berbuat salah. Pepatah ini seolah-olah berasumsi bahwa semua guru adalah laki-laki, atau hanya laki-laki yang pantas disebut guru, mengingat, perempuan tidak pernah kencing berdiri. Pepatah ini, juga, menyiratkan betapa kenakalan dan kekurangajaran itu identik dengan laki-laki.
“Ini tidak fair! Aku mau buat pepatah tandingan. Sekarang ini, kenakalan remaja bukan cuma soal murid kencing berdiri, tetapi juga soal murid pakai bikini. Coba lihat apa yang terjadi pada anak perempuan sekarang; pelacuran terselubung, kecanduan narkoba, dan pornografi. Ini karena guru perempuan tidak memberikan contoh teladan; perselingkuhan, praktik asusila, perjudian.” Kata Sumarno mengebu-gebu.
“Aku mau tulis ini dalam makalah untuk seminar.” “Jadi kamu mau jadi pembicara seminar?” “Iya, Kenapa? Emangnya lucu?” Dalam hati aku tertawa. Angin apa yang tiba-tiba menerpa Sumarno sehingga dia mau jadi pembicara seminar. Jadi peserta seminar pun dia kadang ogah-ogahan. Kalau tidak karena sertifikat, mana mau dia datang ke seminar. Jadi peserta pun dia selalu duduk paling belakang; mencari tempat yang aman untuk merokok. Tunggulah tiga puluh menit, maka Anda akan mendapatkan dia mendengkur.
Ini pasti karena change!—buku karangan Rhenald Kasali—yang selama ini dia baca. Begitu besar pengaruh buku itu pada pandangan hidupnya; kemarin dia bercerita padaku tentang niatnya menjadi pengusaha; sekarang, malah, mau jadi pembicara seminar. “Memang kita harus punya keberanian untuk berubah!” katanya. “Kalau kita tidak berani mencoba hal-hal baru, kita akan begini terus. Orang-orang sukses itu karena mereka punya keberanian untuk berubah.”
Tapi aku nggak heran juga kalau dia mau jadi pembicara sebuah seminar. Dia membutuhkan angka kredit yang banyak untuk naik golongan, atau untuk sertifikasi. Kalau cuma jadi peserta, angka kreditnya kecil. Di samping itu, mungkin dia membutuhkan popularitas untuk menaikkan posisi tawarnya. Siapa tahu. Bukankah dengan menjadi pembicara seminar namanya akan jadi terkenal; masuk koran, dan, kalau beruntung, akan berkenalan dengan pejabat ini, pejabat itu, ketua ini, ketua itu. Asal pandai berkata-kata dan tidak sungkan tertawa-tawa, maka jalan pergaulan akan menjadi mulus. Begitulah.
“Nggak fair juga kalau hanya mengkambinghitamkan guru perempuan. Masalah kenakalan remaja perempuan, kan , kompleks. Banyak faktor luar yang ikut mempengaruhi. Kamu mereduksi persoalan kalau cuma menyalahkan guru perempuan tidak memberi contoh yang baik.” Tantangku. “Begitu juga masalah remaja laki-laki. Mereka kencing berlari belum tentu karena gurunya kencing berdiri.” Jawab Sumarno tak mau kalah. “Itulah sebabnya masalah ini mau aku angkat dalam seminar. Ini pasti menarik, aktual dan sensasional. Aku bosan dengan dengan topik-topik seminar selama ini; selalu mengangkat masalah yang berat-berat, bahkan, terlalu berat untuk ukuran mereka. Terbukti, mereka sering kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta. Dan, akhirnya, berakhir dengan masih menyisakan tanda tanya besar yang tak terjawab.”
***
Etika Guru dalam Era Globalisasi, begitulah tema seminar yang akan menampilkan Sumarno sebagai salah satu pembicaranya. Seminar tingkat kabupaten ini cukup bergengsi. Beberapa pembicara yang sudah punya nama akan tampil. Hanya Sumarno yang belum punya nama.
“Aku sudah menghubungi panitianya. Mereka tertarik dengan isu yang aku kemukakan. Mereka menyuruhku membuat makalah secepatnya. Kamu bisa bantu aku, kan ?” “Cuma kamu yang dari guru?” tanyaku kagum. “Mungkin mereka tertarik dengan isu itu. Mereka menilai isu itu aktual dan ada urgensinya untuk dibicarakan.” Katanya meyakinkan. Ada kesan kebanggaan yang teramat sangat di wajahnya.
“Membantu bagaimana?” “Ya, membuat makalah. Kamu kan tahu, aku nggak bisa nulis.” “Aku juga nggak bisa” jawabku sekenanya. Aku memang mencoba menghindar. Membantu teman membuat makalah bukanlah satu keharusan untuk layak disebut sebagai teman yang baik. Di samping itu, pekerjaan ini tidaklah mudah. Perlu energi ekstra keras untuk duduk berjam-jam di depan komputer, sementara, otak diforsir untuk merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf sehingga menjadi sebuah karya tulis yang bagus. “Kamu kan biasa nulis. Lagi pula, aku minta tolong sebagai teman. Kalau bukan sama kamu, siapa lagi? Nanti, adalah, uang rokoknya.” Katanya merayu.
“Kamu sudah siapkan referensinya?” akhirnya aku menyerah. “Alah, nggak perlu referensi. Tulis aja apa adanya. Makalah yang bagus itu bukan karena referensinya banyak. Tapi tergantung idenya. Apakah ide kita itu aktual dan orisinil, itu yang penting!; bagaimana cara kita memandang suatu permasalahan dari sudut pandang kita sendiri. Tanpa itu, makalah hanyalah suntingan teori dan pendapat yang bercerai berai. Coba perhatikan makalah-makalah yang ada selama ini, semuanya hanya menumpuk-numpuk ide, pendapat, dan teori orang lain. Enggak orisinil. Jangan dikira mereka sudah membaca semua referensi yang sejibun itu. Mereka hanya mengutip kutipan makalah lain!”
“Tapi, kan , nggak semua begitu.”
“Ya, memang. Tapi banyak yang begitu.”
“Tapi referensi diperlukan supaya makalah kamu tidak jadi hanya sekadar bahan lelucon untuk ditertawakan orang lain.”
“Apa salahnya ditertawakan. Orang tertawa belum tentu karena mereka lebih ngerti. Kadang-kadang orang tertawa karena mereka punya masalah dengan selera humornya.”
“Oke, oke. Kamu mau beri judul apa makalahmu ini?”
“Itulah yang sedang aku pikirkan. Aku sedang mencar-cari pepatah yang tepat sebagai tandingan ‘kalau guru kencing berdiri, murid kencing berlari’.”
“Dan itu mau kamu jadikan judul?”
“Ya.”
“Ini pasti menarik.”
“Dan sensasional.”
“Dan kamu akan tercatat sebagai penemu pepatah baru dalam khasanah perpepatahan Indonesia . Namamu akan jadi terkenal dan tercatat dalam buku. Apakah kamu juga akan menggunakan kata ‘kencing’ dalam pepatahmu itu?”
“Oh, tidak. Kata itu terlalu vulgar. Aku akan mencari kata-kata yang sopan”
“Sesopan apa?”
“Lebih sopan dari ‘guru kencing berdiri’.”
“Hahaha….”
***
Sulit sekali menulis makalah seperti pesanan Sumarno. Pembahasan difokuskan pada guru yang memakai rok mini. Mencari data atau berita mengenai guru yang pakai rok mini tidaklah semudah mencari data atau berita mengenai guru yang kencing berlari. Di Koran, di TV, lewat cerita dari mulut ke mulut, banyak sekali guru yang kencing berdiri. Sedangkan guru yang pakai rok mini hanya sekali-sekali saja. Draft ide yang disodorkan Sumarno hanyalah sebuah garis besar, perlu memeras otak untuk mengembangkannya. Dan aku sudah melakukan ini selama tiga hari tiga malam.
“Aku menyerah. Aku kesulitan mendapatkan data atau berita mengenai guru yang pakai rok mini.” kataku, di hari yang keempat. “Tidak perlu banyak data atau berita. Ini hanya sebuah premis mayor. Toh, banyak orang sudah tahu mengenai guru yang pakai rok mini. Tidak perlu disebutkan lagi. Tugas kamu hanya membuat premis minor bahwa dengan demikian, maka banyak murid perempuan yang …. Untuk itu juga kamu tidak perlu data. Semua orang sudah tahu. Tugas kita hanya mengutarakan ide bahwa itu bisa dijadikan penyebab.” Aku manggut-manggut.
Pada hari ke tujuh, akhirnya makalah itu jadi juga. Isinya beberapa data mengenai kenakalan remaja putri dari berbagai sumber. Selebihnya, adalah bualan-bualan Sumarno dan aku sendiri.
“Kamu tidak malu makalahmu hanya berisi bualan. Dan kamu akan menjadi pembual terbesar abad ini.” Kataku memancing. “Buat apa malu? Di dunia ini banyak sekali orang yang memilih cara hidupnya dengan menjadi pembual, dan aku bukan orang pertama yang melakukan ini.”
***
Hari H pun tiba. Sumarno semalaman tak bisa tidur menunggu pagi. Maklumlah, ini kali pertama dia akan tampil sebagai pembicara seminar. Sebelumnya, dia sudah belajar cara-cara merepresentasikan makalah, cara berbicara yang baik, dan kiat-kiat untuk mengatasi rasa gugup berhadapan dengan orang banyak. Kalau berbicara dengan murid, itu sudah biasa dia lakukan. Tapi berbicara di depan orang dewasa, sebaya, atau lebih tua dari umurnya, sungguh jarang. Apalagi dalam sebuah seminar, sebagai peserta pun dia tidak pernah berbicara. Hanya sekali seingatnya, itu pun karena disuruh temannya membacakan pertanyaan yang sudah dia tulis.
“Apa aku perlu doping?”, tanyanya padaku.
“Gila kamu, No. itu sama saja dengan ‘kencing berdiri’.” jawabku.
“Tapi nggak mungkin aku tampil tanpa doping. Apa kamu mau melihatku gemetaran di depan orang banyak. Apa kamu nggak malu?” katanya beruntun.
“Ya, terserah. Tapi jangan sampai mulutmu bau minuman. Itu lebih memalukan lagi.”
***
Penampilan Sumarno ternyata cukup lancar, dalam arti tidak gugup dan tidak gagap. Kata-kata cukup lancar mengalir dari mulutnya. Tidak ada yang tersendat-sendat seperti orang gemetaran. Tapi jangan Tanya soal akurasi. Kebanyakan jawabannya ngelantur; nggak nyambung. Orang bertanya ke timur, dia menjawab ke barat. Orang ke barat, dia ke timur. Malah, ada juga pertanyaan yang dia jawab dengan pertanyaan pula. Presentasi dia lakukan hanya dengan membacakan makalah yang memang sudah dibagikan ke tangan peserta. Membosankan. Tidak ada variasi sama sekali; tidak pernah menoleh, berdiri, atau menggunakan bahasa tubuh lainnya. Persis seperti murid SD yang disuruh membaca keras oleh gurunya.
Sebentar-sebentar terdengar gerutuan dari para peserta, disertai isyarat-isyarat lain yang menunjukkan kebosanan, kelelahan, dan kadang-kadang pelecehan. Tapi Sumarno tidak tahu itu, atau berpura-pura tidak tahu.
“Nada-nadanya, Anda hanya menyalahkan guru perempuan yang tidak memberikan contoh yang baik. Padahal banyak sekali faktor yang berkontribusi terhadap kenakalan remaja putri; faktor sosial, ekonomi dan pendidikan non-formal, misalnya. Ini tidak fair….” kata seorang peserta.
“Saya hanya melihatnya dari sudut pandang ini, sesuai dengan latar belakang saya. Kalau ada faktor-faktor lain, saya tidak menampiknya. Saya tidak pernah mengatakan ini sebagai satu-satunya penyebab….” Tangkis Sumarno. Kemudian, sesi tanya jawab itu berubah jadi debat kusir dengan munculnya suara-suara yang tidak jelas dari peserta lain. Koor “huuu…” sebentar-sebentar terdengar setiap kali Sumarno berbicara; selesai atau belum selesai. Suasana semakin memanas. Tapi, untunglah, ada moderator yang berhasil mendinginkan suasana. Kalau tidak, mungkin ruang seminar itu sudah berubah jadi ajang Perang Dunia III. Jumlah peserta perempuan di situ banyak sekali.
***
Keesokan harinya, benar saja, nama Sumarno muncul di Koran. Ditulis besar-besar. Tidak ada berita mengenai suasana seminar yang kacau balau atau soal ketidaklayakan Sumarno sebagai pembicara, atau soal makalahnya yang tidak matang, atau soal penampilannya yang jauh dari sempurna. Mungkin si wartawan terlalu tertarik dengan topik yang dibicarakan Sumarno, sehingga judul makalahnya ditulis besar-besar sebagai judul berita. “Kalau Guru Pakai Rok Mini, Murid Pakai Bikini ….”***
Post a Comment