“Mak, aku besok main ke laut sama teman-teman,ya?” Pinta Irham pada emaknya. Esok adalah hari libur. Pekan ini kebetulan ada libur tiga hari berturut-turut. Dua tanggal merah pada hari Jumat dan Sabtu, disusul oleh hari Minggu. Sudah lama Irham tidak ke laut. Kebetulan pula, kemarin, teman-temannya berencana main ke pantai rame-rame. Memandang samudera luas tak bertepi dari rerimbun pohon nyiur, berlarian di pasir putih, atau menikmati kaki dijilat ombak adalah sesuatu yang sangat dirindukan Irham. Sudah lama dia tidak melakukan hal itu.
Jarak antara pantai dan rumahnya yang sekitar tigapuluh kilometer lebih tidak memungkinkan Irham untuk pergi ke laut sering-sering. Sebenarnya laut itu terletak di kota yang berbeda dengan kota di mana dia tinggal. Jarak tiga puluh kilometer adalah jarak antara kotanya dan kota di mana pantai itu berada. Keadaan jalan yang berkelok-kelok dan berbukit-bukit membuat jarak itu terasa lebih jauh. Seumur hidup Irham yang sudah empatbelas tahun baru empat kali dia ke pantai itu. Kali terakhir dalah tahun lalu.
“Besok kan menjelang hari pernikahan kakakmu. Kita semua akan repot. Bahkan tetangga-tetangga pun akan repot membantu kita. Masa kamu mau pergi? Jawab emaknya. “Kan masih dua hari lagi, Mak. Besok kan masih belum banyak pekerjaan. Lagi pula Irham sudah janji sama teman-teman. Irham kan sudah lama nggak ke laut.” rengek Irham. “Ya, sudah. Hati hati di jalan. Nggak usah ngebut.”
Dua hari menjelang pernikahan biasanya memang hari yang sibuk mempersiapkan ini-itu. Apalagi ini adalah pernikahan pertama dalam keluarga itu. Rita kakak Irham yang sulung adalah orang pertama yang akan mengakhiri masa lajangnya dari lima bersaudara keluarga itu. Irham adalah anak lelaki satu-satunya. Tahun ini anak itu menginjak kelas 3 SMP.
Hal yang paling dirindukan Irham pada laut adalah keluasannya. Kebetulan pula laut yang sering ia kunjungi ini adalah laut lepas. Sejauh mata memandang yang terlihat cuma laut; tidak ada pulau-pulau, tidak ada kapal-kapal. Entah mengapa, setiap kali ia memandangi laut lepas itu matanya seolah tak berkedip. Seolah-olah dia menemukan sesuatu di sana . Sesuatu yang memberikan kesejukan, sesuatu yang memberikan kenyamanan, sesuatu yang memberikan kedamaian. Setiap kali memandang laut, dia seperti menemukan sesuatu yang sudah lama dia cari. Itulah sebabnya dia betah berlama-lama memandang laut. Coba kalau rumahku di pinggir pantai, setiap hari aku bisa memandang laut, katanya dalam hati.
***
Perjalanan menuju pantai memakan waktu sekitar satu jam, ini sudah termasuk cepat. Anak muda yang nekad, biasanya sanggup menempuh perjalanan ini satu jam kurang sedikit. Jalanan yang berkelok-kelok, berbukit-bukit, berjurang-jurang, tidak memungkinkan ditempuh lebih cepat. Apalagi, beberapa dari kelokan itu sangat tajam, dan beberapa ruas jalan berada di pinggir jurang yang sangat dalam. Ada , memang, yang mencoba menempuh jarak itu dalam tempo yang sangat cepat, tapi mereka harus mengakhirinya di rumah sakit, beberapa diantaranya, malah, berakhir di kuburan. Waktu tempuh yang paling aman dan nyaman adalah sekitar satu setengah jam. Irham dan kawan-kawannya, menurut pengalaman mereka yang sudah-sudah, membutuhkan waktu lebih kurang satu jam, begitupun hari itu.
Entah mengapa, hari itu perasaan Irham sangat senang. Perjalanan yang sedemikian jauh terasa dekat. Sepanjang perjalanan dia terus-menerus mengoceh, tidak peduli hal itu mengganggu konsenstrasinya menyetir sepedamotor. Beberapa kali dia hampir menyeruduk kendaraan lain. Andri temannya yang membonceng di belakang sport jantung dibuatnya. Untunglah Irham cukup lihai bersepadamotor. Ancaman tabrakan seperti itu bukanlah hal yang baru baginya. Malah, sopir-sopir kendaraan yang hampir tertabrak itu yang jantungnya hampir copot dibuatnya, lalu, mencaci-maki.
****
Suasana pantai sudah ramai ketika Irham dan konvoi tujuh sepedamotornya tiba, satu jam kurang tujuh menit dari saat start. Libur weekend tiga hari berturut-turut membuat orang-orang dari pelbagai penjuru tumplek-blek di lokasi wisata itu. Pakaian berwarna-warni (merah, kuning, hijau), kulit berwarna-warni (putih, sawo matang, gelap), dan rupa yang beraneka ragam (cantik, tampan, jelek), usia tua maupun muda berbaur menjadi satu. Suara bocah-bocah yang bermain berlarian di pasir putih, berkejaran dengan ombak menambah meriahnya suasana, ditingkah dengan suara pedagang beraneka makanan menawarkan dagangannya. Sementara suasana pagi masih nyaman dengan sinar mentari yang bersahabat. Menjelang tengah hari, biasanya, sengat mentari sangat tajam.
Sesaat setelah memarkir kendaraan di tempat di mana kendaraan lain berjejal tak beraturan, Irham langsung menuju pantai. Sementara, teman-temannya beristirahat kecapekan.
Berdiri di pinggir pantai, di perbatasan antara pasir putih dan rumput hijau, pandangan matanya tertuju pada sekelompok anak-anak remaja seusianya yang asyik bermain ciprat air. Beberapa diantaranya berenang. Laut tampak begitu tenang seperti air dalam mangkuk. Tidak ada angin, tidak ada hujan, yang ada cuma kedamaian. Kedamaian yang mengundang siapapun untuk terjun ke dalamnya. Kedamaian yang akhirnya mengundang Irham untuk terjun pula. Apalagi, beberapa di antara anak-anak itu melambaikan tangan ke arahnya, mengajaknya untuk segera bergabung. Irham tergoda dan langsung berlari ke arah mereka. Teriakan orang-orang mencegahnya tidak dihiraukannya.
Bergabung dengan anak-anak itu Irham terkesima. Kulit mereka putih dan bersih tanpa noda. Berbeda dengan anak-anak kampung lainnya yang kulitnya tak terawat dan banyak noda bekas koreng. Wajah mereka tampan-tampan dan cantik-cantik. Suara mereka pun begitu seksi dan menggoda. Seumur hidupnya, Irham belum pernah melihat manusia secantik dan setampan mereka. Dan yang lebih mengejutkan lagi ternyata kulit dan pakaian mereka tidak basah meski berendam dalam air berlama-lama. Irham mengamati sekujur tubuhnya, ternyata dia pun tidak basah, meski air laut terasa sejuk. Salah seorang dari mereka menyapanya sambil tersenyum. Suaranya gurih renyah. Beberapa lagi berkumpul mengelilinginya. Mereka bercanda bersuka ria. Irham langsung akrab dengan salah satu yang menyapanya tadi. “Kami sudah lama menunggumu.”, kata anak itu akhirnya, sambil menggandeng tangan Irham mengajaknya pergi ke suatu tempat. Irham tidak mengerti mengapa mereka menunggunya. Dia bahkan tidak kenal siapa mereka. Tapi tangan lembut dan wajah cantik anak itu begitu menggoda.
Sudah beberapa hari ini laut tidak bersahabat. Angin bertiup kencang. Permukaan laut bergelora seperti air mendidih di kawah raksasa. Ombak besar-besar berkejar-kejaran tiada henti. Tidak ada nelayan yang berani melaut. Wisatawan yang datang ke pantai itu tidak ada yang berani mandi di laut. Paling-paling mereka hanya memandangi laut yang bergolak dengan rasa ngeri, terbayang betapa mengerikannya jika pergolakan air laut itu menelan tubuh mereka.
“Tunggu, aku mesti pamit dulu sama emak. Besokkan hari pernikahan kakakku.”, pinta Irham sebelum mereka beranjak pergi. Mereka mengangguk mengiyakan. Irham menoleh ke belakang. Di pantai tampak banyak orang berkerumun. Dia antara kelimun orang-orang itu Irham melihat dengan jelas emaknya berdiri terpaku memandang ke arahnya. Orang tua itu menyeka air matanya berkali-kali. Matanya tampak sembab karena terlalu lama menangis, sementara mulutnya tidak henti-henti memanggil nama Irham. Irham ingin berlari menghampirinya, tapi entah kenapa tubuhnya malah semakin menjauh.***
Post a Comment