NINA masih terjebak dalam kamarnya. Pikirannya pusing. Hatinya sakit bukan kepalang. Tak terlukiskan dengan kata-kata betapa perih penderitaannya kali ini. Dunia seperti runtuh rasanya. Apa saja yang ia punya seperti tidak ada harganya lagi. Dunia ini tidak berharga. Keluarganya tidak berharga. Teman-temannya tidak berharga. Bahkan kehidupan ini sudah tidak berharga lagi. Apa gunanya kehidupan ini kalau hanya tinggal jasad, sedangkan jiwa ia sudah tak punya.
Ya, jiwa itu sudah sirna semenjak Dodi meninggalkannya. Betapa kali ini ia membenci Dodi orang yang selama ini menjadi sumber jiwanya. Orang yang selama ini menjadi alasan mengapa ia tetap hidup itu kini sudah pergi dengan wanita lain; wanita yang tidak ia kenal. Bukan karena wanita itu lebih cantik darinya. Bukan pula karena wanita itu lebih berpendidikan. Bukan pula karena dia lebih kaya. Dan bukan pula karena wanita itu lebih baik dari dirinya secara mental, tetapi karena suatu alasan yang menyangkut nasib.
Ya, beginilah nasib saya, pikir Nina. Beginilah tuhan menciptakan saya. Salahkah bila saya tidak menyukai nasib saya? Salahkah bila saya mengakhiri kehidupan ini dengan alasan saya tidak menyukai nasib buruk ini? Apakah berdosa? Bukankah saya tidak pernah minta dilahirkan ke dunia ini? Bukankah tuhan sendiri yang memberi saya nasib seburuk ini? Dan saya terlahir dengan tidak punya pilihan lain. Tidaklah fair jika segalanya ditentukan oleh tuhan dan saya tidak diberi kesempatan untuk memilih. Saya tidak pernah minta dilahirkan (sebagai perempuan). Saya juga tidak pernah meminta kedua orang tua yang seperti saya punya sekarang. Saya tidak minta jadi orang miskin. Bahkan saya tidak diberi kesempatan untuk memilih sendiri nama yang saya suka. Lalu apa salahnya kalau sekarang saya yang memilih. Bukankah selama ini saya sudah cukup kuat bertahan. Bukankah saya sudah berusaha untuk mengerti. Sekarang giliran tuhanlah untuk mengerti.
Pikiran Nina benar-benar kalut. Apalagi kalau ia membayangkan betapa mesranya Dodi selama ini kepadanya; betapa Dodi menyayangi dirinya dengan sepenuh hati. Betapa banyak sudah pengorbanan yang ia beri mulai dari pertemuan pertama mereka sampai kini; sudah tiga tahun.
Dodilah yang selama ini membiayai nyaris sebagian kehidupannya. Terutama setelah duduk di bangku perguruan tinggi, hampir seluruh biaya hidupnya ditanggung Dodi. Dodilah yang menganjurkannya kuliah mengambil program D III. Sedangkan ibunya tidak mungkin membiayai. Apalah daya ibunya dia hanya seorang perempuan jelata. Syukur selama ini ibunya mampu membiayai keluarga mereka setelah bapaknya Nina meninggal dunia dengan cara bekerja keras berjualan makanan kecil di rumah mereka. Dari kue-kue itulah Nina mengenal Dodi yang kebetulan kost di sekitar rumah mereka. Hampir setiap hari Dodi menyambangi ibunya Nina untuk membeli kue.
Bagi Nina, Dodi adalah rahmat tuhan yang diturunkan kepadanya. Dodi adalah jawaban dari segala ketidakmampuan dan ketidakberdayaan yang menyergap dirinya. Dodi datang pada saat yang tepat. Dan kini dia pergi pada saat yang tidak tepat; pada saat dia belum mampu menerima kenyataan pahit. Pada saat dia belum siap secara mental; pada saat jiwanya belum benar-benar matang; pada saat dia belum lulus kuliah.
***
Pikiran Nina benar-benar kacau. Mau menangis rasanya dia tidak kuat lagi. Seluruh persendian tubuhnya lemas. Cairan racun serangga yang dari tadi dituangnya ke dalam gelas masih utuh, menunggu kepastian apakah dia berani meminumnya, sementara keragu-raguan datang menyelinap di antara sisa-sisa kenangan dan harapan di masa yang akan datang. Di usia yang sedemikian muda, apakah aku harus mati?, pikirnya dalam hati.
Didekatkannya gelas yang berisi cairan racun serangga itu ke mulutnya. Bau yang menyengat langsung menyergap membuat dia tersentak, kemudian, meletakkan kembali gelas itu di atas meja. Nyalinya ciut seketika tapi rasa sakit hati itu belum hilang, dan bayangan Dodi yang sedang bermesraan dengan istrinya membuat rasa sakit itu semakin menjadi.
Terbayang pula kegemparan yang akan terjadi besok pagi. Koran-koran lokal, bahkan nasional, pasti akan memuat beritanya. Berita bunuh diri seorang gadis akibat diputus sang pacar. Betapa konyolnya berita itu. Nina sering mencemooh koran-koran lokal yang setiap hari memuat berita-berita kriminal termasuk berita bunuh diri. Dari sudut pandang koran-koran itu, para pelaku tindak kriminal selalu disudutkan, pelaku bunuh diri dipandang sebagai si bodoh yang berpikiran pendek. Tidakkah mereka mencoba menyelami perasaan pelaku dan latar belakang peristiwa itu?, pikir Nina dalam hati. Betapa mereka memanfaatkan penderitaan orang lain untuk dijual dan menarik keuntungan dari situ. Dan kini, akankah ia menjadi objek berita seperti itu? Akankah berita kematiannya dijual?
Tapi niat Nina tak surut. Rasa sakit yang sedemikian dalam telah mengalahkan segalanya. Dicobanya lagi mendekatkan gelas itu ke mulutnya. Dihimpunnya kembali segala keberanian yang mungkin ia punya.
***
Nina mengenal Dodi sekitar dua tahun lalu. Waktu itu dia baru tamat SMA dan Dodi sudah semester tujuh di fakultasnya. Dodi sebenarnya berasal dari desa, sengaja datang ke kota ini untuk kuliah, kebetulan di sekitar rumah Nina ada tempat kost, di situlah Dodi tinggal.
Perkenalan itu terjadi seperti perkenalan muda-mudi pada umumnya, tidak ada yang istimewa sebenarnya. Dodi sebenarnya tidak tampan, tidak juga berasal dari keluarga kaya, tapi Dodi mempunyai semangat juang yang sangat tinggi. Dia mampu membiayai kuliahnya sendiri setelah semester tiga. Bahkan, biaya kuliah Nina pun dia yang membiayai. Inilah yang membuat Nina simpati padanya. Seiring dengan perjalanan waktu, rasa simpati itu berubah menjadi rasa cinta yang dalam. Orang-orang yang melihat mereka menganggap itulah cinta sejati, begitupun anggapan mereka berdua. Bahkan, Dodi sudah berjanji akan sehidup semati.
***
Tapi, setelah tamat kuliah, Dodi kembali ke desanya. Permintaan orang tuanya tidak bisa ditawar-tawar. Dan Dodi tak kuasa membantah.
Nina sempat curiga bahwa kepulangan Dodi atas permintaan orang tuanya itu sudah direncanakan.
“Pasti orang tuamu ingin menjodohkan kamu dengan pilihan mereka. Atau kamu sendiri memang sudah punya simpanan di sana.”, desak Nina pada saat Dodi berpamitan padanya. Tapi Dodi membantah, bahkan bersumpah segala. Dan Nina percaya meski pun sempat muncul juga keraguan; dua kekasih yang dipisahkan oleh sekian jarak dan waktu apaakah cukup kuat untuk bertahan, sedangkan alam yang begitu perkasa saja tidak kuat melawan waktu? “Tidak mungkin ada yang menggantikanmu.”, kata Dodi meyakinkan.
***
Kemudian hubungan mereka merenggang meski tidak terputus sama sekali. Dodi yang tinggal di desanya harus menempuh jarak ratusan kilometer jika ingin menemui Nina. Disamping karena berat di ongkos, juga ketiadaan waktu yang cukup, membuat Dodi jarang datang menemui Nina. Hanya sebulan atau, bahkan, dua bulan sekali saja Dodi berkunjung. Tapi kontak telpon dan sms tidaklah terputus. Nina memaklumi hal ini, meski, di dalam hati, sempat juga muncul keragu-raguan.
***
Lama tak bertemu membuat Nina tak kuat membendung rindu. Beberapa bulan kemudian, setelah tamat kuliah, Nina memberanikan diri menemui Dodi di kampung halamannya. Bukan hanya karena rindu yang tidak tertahan, tapi lebih karena ia ingin tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya, dan bagaimana sambutan orang tua Dodi melihat dirinya.
***
Sambutan kedua orang tua Dodi ternyata luar biasa ramah membuat Nina betah berlama-lama tinggal bersama mereka. Sedikit pun tidak ada kesan bahwa mereka tidak menyukai Nina, atau merasa janggal dan tidak pantas tinggal serumah dengan orang yang belum tentu menjadi menantu mereka. Juga tidak tampak bahwa mereka tidak menyukai Nina secara fisik, sejauh ini fine-fine aja. Tetangga Dodi juga begitu, mereka tampak ramah setelah tahu bahwa Nina adalah calon istri Dodi, ya, meski Cuma calon.
Satu hari, dua hari berlalu dengan kemesraan. Hati Nina berbunga-bunga sampai kemudian suatu ketika peristiwa terkutuk itu terjadi….
***
Nina mengutuk penyakit yang dideritanya. Ya, penyakit itu benar-benar terkutuk. Mengapa harus aku yang mengalami penyakit ini, pikirnya. Mengapa tidak Minah gadis tetangga yang idiot dan tidak mempunyai harapan masa depan itu; dia tidak punya kekasih, dia tidak punya pendidikan, dia tidak punya apa-apa. Mengapa harus aku yang terpelajar, cantik dan cerdas ini? Mengapa pula harus penyakit ini? Mengapa tidak yang lain; darah tinggi, eksim, rematik, asam urat, encok, atau maag seperti yang diderita orang kebanyakan.
Okelah penyakit ini saya terima dengan tabah seperti orang lain menyandang penyakit mereka dengan tidak mengeluh meskipun penyakit itu sudah melekat di tubuh mereka seumur hidup. Tapi, yang lebih menyakitkan lagi, mengapa penyakit ini tidak ada obatnya? Mengapa ilmu kedokteran yang sudah sedemikian maju tidak mampu menciptakan obat untuk penyakit ini? Mengapa tuhan tidak menciptakan obat penyakit ini? Bukankah setiap penyakit itu ada obatnya kecuali tua?
***
Dari luar Nina memang tampak oke-oke saja, tidak seperti orang lain yang menderita penyakit gawat. Tapi bila penyakit itu kambuh, tubuhnya kejang-kejang, kemudian pingsan dengan mulut berbusa-busa, mengerikan sekali. Nina sering mendengar penderita penyakit ini tewas di sungai. Memang, kalau penyakit ini kambuh waktu si penderita berada di sungai bisa gawat, bahkan bisa menimbulkan kematian jika tidak segera dibantu. “Mengerikan” adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan penyakit ini, dan bagi Nina kengerian itu sudah berlangsung seumur hidup.
Dodi pun sebenarnya sudah tahu dia menyandang penyakit itu. Tapi Dodi mungkin tidak pernah tahu bagaimana keadaan yang sebenarnya bila penyakit itu kambuh. Mungkin dia tidak menyangka akan begitu mengerikan. Mungkin dia tidak pernah melihat orang ayan sebelumnya.
Dan ketika penyakit itu kambuh mereka semua terkejut, panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Belum jadi istri sudah bikin repot, begitu mungkin pikir orang tua Dodi. Dan Nina sangat menyesalkan mengapa penyakit itu kambuh pada saat dia berada bersama mereka.
Sebelumnya, penyakit itu sudah sering kambuh, tapi tidak pernah ketika dia sedang bersama Dodi. Kekambuhan yang terjadi di rumah Dodi itu nenar-benar memalukan. Tetangga-tetangga pada berdatangan penasaran ingin tahu apa yang terjadi, seisi rumah penuh seperti melayat kematian. Seisi kampung gempar. Dan Nina harus rela dirinya menjadi tontonan. “Percuma cantik-cantik kalau bawa penyakit.”, begitu komentar salah satu dari orang-orang itu yang sempat dia dengar.
***
“Tuhan menjanjikan surga bagi orang-orang yang tabah menyandang penyakitnya. Dan mengapa penyakit ini ditimpakan kepadamu itu semua rahasia tuhan.” Begitulah bunyi nasehat spiritual yang sering ia dengar dan kerap diberikan kepadanya setiap kali dia mengalami keputusasaan bila penyakitnya kambuh. Nina paham semua itu. Itulah sebabnya mengapa dia tidak bunuh diri dari dulu-dulu.
Kini Nina seperti sudah mendapatkan alasan yang tepat. Tidak ada lagi alasan yang lebih tepat dari ini, pikirnya. “Hidupmu sudah tidak berharga. Tidak ada laki-laki di luar sana yang mau memperistri perempuan ayan seperti kamu. Kamu tidak akan pernah mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu hanya untuk orang-orang normal.”, kata suara hatinya. Tapi Nina masih juga ragu. Tangisnya kembali pecah. Malam yang kian hening membawa hatinya semakin gundah.
Perlahan ditenangkannya kembali pikirannya. Dicobanya meredam tangisan yang akan pecah. Terbayang di seberang sana Dodi sedang bermesraan dengan kekasihnya. Setelah agak tenang, ia bisa menguasai dirinya kembali. Cairan racun serangga di dalam gelas itu seperti menertawakan dirinya.***
Post a Comment