Adalah mengejutkan mendengar rencana Pemerintah Kabupaten
Pesisir Barat, Lampung, untuk membangun sebuah jembatan menuju Pulau Pisang.
Rencana tersebut tentu beranjak dari rasa prihatin selama ini bahwa Pulau
Pisang tak jua menjadi tujuan wisata yang ramai dikunjungi wisatawan, baik
domestik maupun mancanegara, sedangkan potensi wisata yang ada di Pulau ini
sangatlah besar. Visi Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat untuk mnejadika Pulau
Pisang sebagai daerah tujuan wisata utama tentu tidak salah.
Namun ada beberapa tanda tanya besar menyelinap di benak
saya, antara lain; Sudah tepatkah langkah tersebut?; Perlukah dibangun sebuah jembatan
menuju Pulau yang cantik ini?; Tidakkah jembatan itu nantinya malah akan
merusak identitas pulau tersebut?; Tidak adakah cara lain untuk meningkatkan junjungan
wisata ke pulau ini, selain membangun jembatan?
Saya khawatir pembangunan jembatan tersebut nantinya malah
akan merusak apa yang selama ini ada dan dipelihara di pulau tersebut, budaya
dan adat istiadat masyarakat yang selama ini dipertahankan dengan nyaris tanpa
pengaruh dari pihak luar.
Selama ini kita mengenal Pulau Pisang dengan segala
keasliannya; penduduknya yang asli, seni tenun kain tapis yang asli, dan bahasa
dan adat istiadat yang asli Lampung.
Selama ini Pulau Pisang dikenal sebagai pulau yang sunyi, sehingga
dijadikan tujuan wisata bagi mereka yang ingin melarikan diri dari keramaian
dan hiruk pikuk wilayah perkotaan. Akan tetapi nanti, jika ada jembatan yang
menghubungkan daratan Sumatera ke pulau ini, maka arus manusia masuk ke pulau ini
tak lagi terbendung, bak air bendungan yang dibuka dari pintunya. Pulau Pisang
akan penuh sesak. Pulau Pisang akan menjadi sebuah tempat yang hiruk
pikuk dengan manusia dengan segala kegiatannya. Pulau Pisang tak akan lagi menjadi
sebuah pulau, tetapi dia akan menjadi bagian dari daratan Sumatera dengan segala
permasalahannya. Polusi udara, polusi air, dan daratan tak lagi bisa dicegah
dengan masuknya ribuan kendaraan bermotor dan sampah bawaan manusia.
Belum lagi polusi dalam bidang budaya. Selama ini budaya
Pulau Pisang masih relatif asli dan terjaga, tetapi siapa yang bisa menjamin budaya
itu bisa dipertahankan kalau nantinya ada jembatan yang menghubungkan pulau ini
dengan daratan. Tekanan eknonomi dan masyarakat yang permisif bisa menyebabkan pulau
itu berubah 180 derajat.
Bayangkan, kalau nantinya ada jembatan, maka orang akan
berduyun-duyun keluar-masuk ke pulau tersebut seperti halnya ke daerah-daerah
tujuan wisata utama lainnya. Bukannya tidak mungkin pulau ini akan menjadi
tempat yang paling ramai dikunjungi di wilayah pesisir, mengalahkan
tujuan-tujuan wisata pesisir yang sudah ada selama ini.
Angka kunjungan wisatawan, lokal maupun mancanegara, yang
tinggi ke pulau ini tentu akan membuat para investor tertarik untuk menanamkan
modalnya di pulau ini. Harga tanah akan
naik berlipat ganda, tetapi tentu tidak akan jadi soal bagi investor besar yang
kuat modal. Dan dengan demikian, tidak tertutup kemungkinan semua wilayah Pulau
Pisang nantinya akan berpindah ke tangan investor. Penduduk Pulau Pisang akan
tergusur. Budaya dan adat istiadat akan sirna. Identitas Pulau Pisang sebagai
pulau cengkeh dan pusat kerajinan tapis hanya akan tinggal kenangan, berganti
dengan identitas dari luar, yang serba asing. Tak akan lagi terdengar orang
berbicara bahasa Lampung di sana. Dan yang paling menyedihkan, tidak tertutup
kemungkinan Pulau Pisang akan menjadi wilayah eksklusif, yang tertutup, yang hanya
kalangan tertentu yang boleh masuk. Penduduk Pulau Pisang yang sekarang hanya bisa
menyaksikan pulau yang pernah menjadi kampung halaman mereka itu dari kejauhan.
Kalau ini yang terjadi maka Pulau Pisang akan menjadi wilayah
asing bahkan bagi penduduk Pesisir Barat sendiri. Dan ini tentu tidak sehat dan
bisa saja menimbulkan gejolak di masyarakat.
Gambaran di atas boleh jadi terlalu berlebihan, tetapi alangkah
baiknya jika rencana pembangunan jembatan penghubung Pulau Pisang dengan
daratan Sumatera ini dikaji terlebih dahulu dampak sosial ekonomi dan sosial
budayanya.